ORIENTASI NILAI BUDAYA


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, dan sebagai makhluk budaya, manusia mempunyai berbagai kebutuhan, yang tidak mungkin dapat di penuhinya sendiri dengan sempurna tanpa berhubungan dengan manusia lain.
Manusia dalam kehidupannya memiliki tiga fungsi,sebagai makhluk Tuhan, individu dan sosial budaya,yang saling berkaitan dimana kepada Tuhan memiliki kewajiban untuk mengabdi pada Tuhan, sebagai individu harus memenuhi segala kebutuhan pribadinya dan sebagai makhluk sosila budaya harus hidup berdampingan dengan orang lain dlam kehidupan yang selaras dan saling membantu.           
Terkait dengan pemaparan diatas maka makalah akan membahas tentang bagaimana manusia dalam menentukan orientasi nilai budaya itu sendiri yang dimana didalamnya akan membahasa adat istiadat, norma dan hukum dalam kebudayaan.

B.   Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan adat istiadat?
2. Bagaimana gambaran norma dan hukum dalam adat istiadat?
3. Bagaimana orientasi nilai budaya dalam masyarakat?

C.   Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui arti adat istiadat secara luas
2.    Mengetahui gambaran norma dan hukum dalam adat istiadat
3.    Mengetahui orientasi nilai budaya dalam masyarakat
  


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Adat Istiadat
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Adat diartikan sebagai aturan (perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Contoh jika kita menyatakan ( menurut adat  daerah ini calon pengantin tak boleh bertemu sebelum ijab). Sedangkan Istiadat  diartikan segala aturan (tindakan) yang sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun, jadi dapat disimpulkan adat istadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun menurun dari generasi satu ke generasi yang lain sebagai warisan sehingga kuat intergrasinya dengan pola perilaku masyarakat.
            Dalam ilmu antropologi adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap wujud itu dapat kita sebut adat tata kelakuan, karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan. suatu contoh dari adat ialah aturan sopan santun untuk memberi uang kepada seseorang yang mengadakan pesta kondangan. Adapun adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkatan yaitu:
           a.    Tingkat nilai budaya
Pada tingkat nilai budaya ini merupakan lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi-konsepsi serupa itu biasanya luas dan kabur; tetapi walaupun demikian, justru karena kabur dan tidak rasional, biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia. Tingkat ini dapat kita sebut sistem nilai-budaya.
          
           b.     Tingkat norma-norma
Tingkat adat yang kedua dan lebih konkret adalah sistem norma. Norma-norma itu adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Peranan manusia dalam kehidupannya adalah banyak dan manusia sering berobah peranan dari saat ke saat, dari hari ke hari. Pada suatu saat ia berperanan sebagai orang atasan, saat kemudian berperanan sebagai orang bawahan, pada suatu hari ia berperanan sebagai guru, pada hari lain ia adalah pemimpin partai politik. Tiap peranan membawakan baginya sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranannya yang bersangkutan. Jumlah norma dalam suatu kebudayaan lebih banyak daripada jumlah nilai-budayanya.

           c.  Tingkat hukum
Tingkat adat yang ketiga dan yang lebih konkret lagi adalah sistem hukum (baik hukum adat maupun hukum tertulis). Hukum sudah jelas mengenai bermacam-macam sektor hidup yang sudah terang batas-batas ruang-lingkupnya. Jumlah undang-undang hukum dalam suatu masyarakat sudah jauh lebih banyak daripada jumlah norma yang menjadi pedomannya.

           d.     Tingkat aturan khusus.
Tingkat adat yang keempat adalah aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang-lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya aturan-aturan khusus ini amat konkret sifatnya dan banyak di antaranya terkait dalam sistem hukum. Contohnya adalah peraturan lalu-lintas. Contoh dari aturan khusus yang tidak tersangkut ke dalam sistem hukum adalah misalnya aturan sopan-santun.

B. Gambaran Norma dan  Hukum dalam Adat Istiadat
Norma merupakan aturan-aturan dengan sanksi-sanksi yang dimaksudkan untuk mendorong, bahkan menekan anggota masyarakat secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai sosial. Norma terbagi menjadi dua macam isi:

1. Perintah yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibatnya-akibatnya dipandang baik.
2. Larangan yaitu keharusan yang tidak  berbuat sesuatu oleh karena itu akibat-akibatnya tidak di pandang baik.

Jadi norma adalah ketentuan-ketentuan baik buruknya perilaku manusia di tengah pergaulan kehidupan masyarakat dengan menetukan perangkat perangkat akturan yang besifat perintah dan anjuran serta larangan-larangan dalam hidup bermasyarakat.
Norma dalam adat istiadat lahir karena adanya interaksi social dalam masyarakat. Masyarakat yang berinteraksi membutuhkan aturan main, tata pergaulan yang dapat mengatur mereka untuk mencapai suasana yang diharapkan, yaitu tertib dan teratur. untuk mencapainya maka dibentuklah norma sebagai pedoman yang dapat digunakan untuk mengatur pola perilaku dan tata kelakuan yang akhirnya disepakati bersama oleh anggota kelompok masyarakat tersebut.
Adapun hukum dalam adat istiadat merupakan Istilah masyarakat hukum adat yang dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik- akademis. Sedangkan istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional. Jadi dapat disimpulkan Pengertian Hukum Adat yaitu tampak dalam penetapan (putusan-putusan) petugas hukum, misalnya Putusan Kepala Adat, putusan Hakim Perdamaian Desa dan sebagainya sesuai dengan lapangan kompetensinya masing-masing. Di dalam pengambilan keputusan, para pemberi keputusan berpedoman pada nilai-nilai universal yang dipakai oleh para ketua adat, antara lain:

1. Asas gotong royong,
2. Fungsi sosial manusia & milik dalam masyarakat,
3. Asas persetujuan sebagai dasar dari kekuasaan umum (musyawarah),
4. Asas perwakilan dan permusyawaratan.


C. Orientasi Nilai Budaya dalam Masyarakat
Kluckhohn   dalam   Pelly   (1994)   mengemukakan   bahwa   nilai   budaya merupakan  sebuah  konsep  ruang lingkup  luas  yang  hidup  dalam  alam  fikiran sebahagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup. Rangkaian konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai – nilai budaya.

Secara  fungsional  sistem  nilai  ini  mendorong  individu  untuk  berperilaku seperti  apa  yang  ditentukan.  Mereka  percaya,  bahwa  hanya  dengan  berperilaku seperti itu mereka akan berhasil (Kahl, dalam Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai manusia tidaklah mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilai – nilai tersebut merupakan  wujud  ideal  dari  lingkungan  sosialnya.  Dapat  pula  dikatakan  bahwa sistem   nilai   budaya   suatu   masyarakat   merupakan   wujud   konsepsional   dari kebudayaan mereka, yang seolah – olah berada diluar dan di atas para individu warga masyarakat itu.

Ada lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat ditemukan secara universal. Menurut Kluckhohn dalam Pelly (1994) kelima masalah pokok tersebut adalah: (1) masalah hakekat hidup, (2) hakekat kerja atau karya manusia, (3) hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) hakekat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya.

Berbagai   kebudayaan   mengkonsepsikan   masalah   universal   ini   dengan berbagai  variasi  yang  berbeda  –  beda.  Seperti  masalah  pertama,  yaitu  mengenai hakekat hidup manusia. Dalam banyak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Budha misalnya, menganggap hidup itu buruk dan menyedihkan. Oleh karena itu pola kehidupan masyarakatnya berusaha untuk memadamkan hidup itu guna mendapatkan   nirwana,   dan   mengenyampingkan   segala   tindakan   yang   dapat menambah rangkaian hidup kembali (samsara) (Koentjaraningrat, 1986:10). Pandangan  seperti  ini  sangat  mempengaruhi  wawasan  dan  makna  kehidupan  itu secara keseluruhan. Sebaliknya banyak kebudayaan yang berpendapat bahwa hidup itu baik. Tentu konsep – konsep kebudayaan yang berbeda ini berpengaruh pula pada sikap dan wawasan mereka.

Masalah kedua mengenai hakekat kerja atau karya dalam kehidupan. Ada kebudayaan yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk kelangsungan hidup (survive) semata. Kelompok ini kurang tertarik kepada kerja keras. Akan tetapi ada juga yang menganggap kerja untuk mendapatkan status, jabatan dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat bahwa kerja untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada prestasi bukan kepada status.

Masalah ketiga mengenai orientasi manusia terhadap waktu. Ada budaya yang memandang penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa kini sebagai focus usaha dalam perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh melihat kedepan. Pandangan yang berbeda dalam dimensi waktu ini sangat mempengaruhi perencanaan hidup masyarakatnya.

Masalah keempat berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia terhadap alam. Ada yang percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai kehidupan manusia. Sebaliknya ada yang menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dikuasai manusia. Akan tetapi, ada juga kebudayaan ingin mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara pandang ini akan berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya.

Masalah kelima menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak kebudayaan hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara bermusyawarah, mengambil keputusan dan bertindak. Kebudayaan yang menekankan hubungan horizontal (koleteral) antar individu, cenderung untuk mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian seperti terlihat dalam masyarakat – masyarakat eligaterian. Sebaliknya kebudayaan yang menekankan hubungan vertical cenderung untuk mengembangkan orientasi keatas (kepada senioritas, penguasa atau pemimpin). Orientasi ini banyak terdapat dalam masyarakat paternalistic (kebapaan). Tentu saja pandangan ini sangat mempengaruhi proses dinamika dan mobilitas social masyarakatnya.

Inti permasalahan disini seperti yang dikemukakan oleh Manan dalam Pelly (1994) adalah siapa yang harus mengambil keputusan. Sebaiknya dalam system hubungan vertical keputusan dibuat oleh atasan (senior) untuk semua orang. Tetapi dalam  masyarakat  yang  mementingkan  kemandirian  individual,  maka  keputusan dibuat dan diarahkan kepada masing – masing individu.

Meskipun cara mengkonsepsikan lima masalah pokok dalam kehidupan manusia yang universal itu sebagaimana yang tersebut diatas berbeda – beda untuk tiap masyarakat dan kebudayaan, namun dalam tiap lingkungan masyarakat dan kebudayaan tersebut lima hal tersebut di atas selalu ada.

Sementara itu Koentjaraningrat telah menerapkan kerangka Kluckhohn di atas untuk menganalisis masalah nilai budaya bangsa Indonesia, dan menunjukkan titik – titik   kelemahan   dari   kebudayaan   Indonesia   yang   menghambat   pembangunan nasional. Kelemahan utama antara lain mentalitas meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas, sifat tidak percaya kepada diri sendiri, sifat tidak berdisiplin murni, mentalitas suka mengabaikan tanggungjawab.

Kerangka Kluckhohn itu juga telah dipergunakan dalam penelitian dengan kuesioner untuk mengetahui secara objektif cara berfikir dan bertindak suku – suku di Indonesia umumnya yang menguntungkan dan merugikan pembangunan.

Selain itu juga, penelitian variasi orientasi nilai budaya tersebut dimaksudkan disamping untuk mendapatkan gambaran sistem nilai budaya kelompok – kelompok etnik di Indonesia, tetapi juga untuk menelusuri sejauhmana kelompok masyarakat itu memiliki system orientasi nilai budaya yang sesuai dan menopang pelaksanaan pembangunan nasional.

BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Adat istadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun menurun dari generasi satu ke generasi yang lain sebagai warisan sehingga kuat intergrasinya dengan pola perilaku masyarakat.
Adapun adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkatan yaitu: Tingkat nilai budaya, Tingkat norma-norma, tingkat hukum, tingkat, tingkat aturan khusus.
Mendorong  individu  untuk  berperilaku seperti  apa  yang  ditentukan.  Mereka  percaya,  bahwa  hanya  dengan  berperilaku seperti itu mereka akan berhasil (Kahl, dalam Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan tujuan hidup yang diperjuangkan.

B.   Saran
Dalam memelihara nilai budaya Indonesia, kita berusaha untuk menjaga dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, supaya nilai itu sudah tertanam betul dalam diri kita masing-masing. Kemudian berusaha menggali informasi dan potensi diri lagi akan kebudayaan-kebudayaan di Indonesia, serta berusaha meningkatkan kesolidaritas diri terhadap sesama dalam menjaga kebudayaan Indonesia.

Daftar Pustaka

Koentjaraningrat. Pengantar Antrpologi, Cet. IV. Jakarta; Rineka Cipta. 2011 M.
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa Indonesia.  Jakarta; Pusat Bahasa. 2008.
Mukhlisin. Kewarganegaraan. Jakarta: Interr Plus.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cet. IX; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2000.
Tim Penyusun. Sosoilogi 1 Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat. Cet. III; Jakarta; Gahalia Indonesia. 1428H/ 2007 M.      
Kansil, C.ST. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1989.

rahmana353.blogspot.co.id/2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKNOLOGI GAME

GAMEPLAY OVERWATCH

TUGAS AKHIR : SBD 2